KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah menyertai dan menuntun Tim Sejarah GKJW Jemaat Maron, sehingga buku ini dapat tersusun.
Tim Penyusun juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga tersusunlah buku ini.
Dengan hadirnya buku ini, dimaksudkan supaya ada benang merah yang dapat menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, sehingga setiap generasi dapat mengetahui proses pertumbuhan jemaat dari waktu ke waktu.
Harapan Tim Penyusun, dengan hadirnya buku ini di tengah-tengah kita, adalah bisa memotivasi jemaat untuk terus bertumbuh menjadi semakin dewasa, dan berkembang menjadi lebih baik lagi, sehingga kehadiran Yesus Kristus dapat dinyatakan dan karya-Nya dapat dirasakan oleh semua orang, khususnya di Desa Maron dan sekitarnya.
Akal tak sekali datang, runding tak sekali tiba. Tak ada gading yang tak retak.
Jika ada ketidaksempurnaan dalam penyusunan buku ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tuhan memberkati.
Tim Penyusun :
1. Karnawiyata
2. Prasetyo Hartanto
3. Erwiyanto
4. Pdt. Dwi Hastuti, S.Si
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I : ORANG KRISTEN DI TOGOGAN - KECAMATAN SRENGAT
BAB II : CIKAL BAKAL KEKRISTENAN DI MARON
BAB III : PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KEKRISTENAN DI MARON
BAB IV : PEPANTHAN-PEPANTHAN
BAB V : KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
BAB VI : LAMBANG / PANJI-PANJI DESA MARON
PENUTUP
BAB I
ORANG KRISTEN DI TOGOGAN - KECAMATAN SRENGAT
Untuk mengetahui adanya orang Kristen di Desa Maron, Kecamatan Srengat, haruslah dipelajari terlebih dahulu keberadaan orang Kristen di Desa Togogan, Kec. Srengat, Kab. Blitar.
Di Desa Togogan telah ada orang Kristen sejak tahun 1830. Ini berkat pekabaran Injil yang dilakukan oleh Kyai Djosep asal dari Ngoro, dan dibantu oleh Mateus Arip. Tatkala Jelesma mengunjungi Togogan tahun 1849, sudah ada 21 orang yang menyatakan diri ingin dibaptis masuk agama Kristen. Bahkan disana telah didirikan tempat ibadah atau gereja.
Setelah Perang Diponegoro yang terjadi tahun 1825-1830 berakhir, Pangeran Diponegoro ditangkap ditangkap oleh Belanda kemudian diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makasar, akhirnya wafat disana tahun 1855.
Pengikut Pangeran Diponegoro yang tidak mau menyerah kepada Belanda, lalu melarikan diri dari Yogyakarta ke arah timur, diantaranya ada yang sampai di Ponorogo, Magetan, Nganjuk, dan sebagainya, bahkan ada yang sampai di Desa Togogan, Kec. Srengat, Kab. Blitar. Tetapi mereka itu tetap dikejar terus oleh Belanda.
Untuk menghindari kejaran Belanda ini, mereka lalu menyatakan diri ingin dibaptis masuk Kristen.
Namun setelah dirasa aman, dan tidak dikejar lagi oleh Belanda, mereka mulai membuat ulah lagi, bahkan mempengaruhi kepada orang-orang Kristen di Desa Togogan. Ulah yang dibuatnya ialah ; mereka tidak mau membayar pajak kepada Belanda, alasannya : “kita ini orang Jawa, dan bertempat tinggal di Pulau Jawa, mengapa kita dipaksa untuk membayar pajak kepada Belanda, orang asing, yang menjajah kita”.
Dengan adanya ulah mereka ini, maka Pemerintah Belanda cepat mengambil tindakan, yaitu :
a. Wedono Srengat yang dianggap tidak dapat mengamankan daerahnya ditangkap, lalu dibuang / diasingkan ke Desa Demuk, Kec. Pucang Laban, Kab. Tulungagung.
b. Ada 14 orang Kristen dari Desa Togogan yang ditangkap, diasingkan ke tengah hutan rimba, yang letaknya arah tenggara dari Desa Togogan, berjarak kurang lebih 3,5 km. Mereka disuruh menempati di sekitar tempat yang dianggap keramat.
Adapun tempat-tempat yang dianggap keramat itu ialah :
a. Segerombol pohon Beringin – Putih yang berjumlah 7 (tujuh) batang, dan dibawahnya terdapat 2 (dua) buah batu lahar yang sangat besar.
Di tempat inilah Permaisuri Rayungwulan bersembunyi dan membesarkan Djoko Kandung puteranya, dari kejaran Patih Sengguruh, setelah Adipati Nilosuwarno dari Kadipaten Aryo Blitar, mati terbunuh di Kedung Gayaran. Karena di tempat ini banyak berserakan pecahan belanga (Maron), bekas tempat memandikan Djoko Kandung, maka oleh orang-orang yang dalam pengasingan, tempat ini disebut : “Desa Maron”.
b. Tempat keramat yang kedua : sebuah makam kuno, yang disampingnya tumbuh sebatang : pohon Rau yang sangat besar.
Konon setiap malam Jum’at, terutama malam Jum’at Legi, penghuni makam kuno ini seringkali menjelma berupa harimau putih, mirip kejadian di Lodoyo, maka makam tersebut lalu disebut : “Makam Mbah Loda” yang masih ada sampai sekarang ini.
BAB II
CIKAL BAKAL KEKRISTENAN DI MARON
Keberadaan orang Kristen di Maron, diawali dari kedatangan 14 orang Kristen dari Desa Togogan Kec. Srengat, Kab. Blitar, beserta keluarganya diantaranya :
1. Kyai Trogati Sidokare dengan keluarganya : Nyai Sariyah beserta anak-anaknya : Lewi, Wonodriyo, Anes (Yohanes), Djokerto.
2. Kyai Troyani, dengan keluarganya : Nyai Robikah, serta anaknya : Djakup.
3. Kyai Lasi (Lasis) yang asalnya dari Magetan, dengan keluarganya : Nyai Kobok (Dorkas), besreta anak-anaknya, Surantiko, Benjamin, Menase.
Kedatangan mereka ini kurang lebih tahun 1830, dan menempati sekitar : “Beringin Putih”, yang sangat keramat. Dari sana mereka mulai menebang hutan, untuk lahan pertanian dan tempat tinggal sampai tahun 1846.
Pada tahun 1846 keluarganya ikut masuk ke tempat pengasingan dan membantu menebang hutan, dan menetap disini.
Tahun 1858 seluruh orang Kristen di Togogan telah pindah tempat ke Maron, bahkan gedung gereja yang ada di Togogan dibongkar. Sebagian kayunya dibawa ke Maron untuk membangun gereja yang baru di Maron. Gereja yang dibangun ini berukuran :
o Panjang : 11,90 meter
o Lebar : 7,45 meter
Dibangun di sebelah barat “Beringin Putih” berjarak kurang lebih 100 meter saja. Ini membuktikan bahwa bagi orang Kristen tak ada tempat keramat yang perlu ditakuti. Guna mengawasi tingkah laku dan gerak-gerik orang-orang Kristen dalam pengasingan ini, dan pembinaan mentalnya, maka ditunjuknya Bapak Djemiyah sebagai pelayan di gereja ini, sekaligus melaporkan kepada Pendeta Belanda, yang bernama T.C. Poensen, berkedudukan di Semampir, Kediri.
Orang yang pertama kali dibaptis di gereja yang baru ini, ialah cucu Kyai Trogati Sidokare atau anak dari Bapak Anes (Yohanes) yang bernama :
Stepanus Martosudarmo
tanggal : 30 Oktober 1858 dengan pendeta yang membaptis bernama :
T.C. Poensen.
Dengan diadakannya baptisan pertama ini, maka di desa Maron telah berdiri suatu jemaat, yang diberi nama :
“Pasamuwan Kristen Maron”.
Baru tanggal : 11 Desember 1931 diganti dengan nama “Gereja Kristen Jawi Wetan Pasamuwan Maron” atau disingkat “GKJW Pasamuan Maron”.
BAB III
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KEKRISTENAN DI MARON
Untuk mempermudah mempelajari agama Kristen, yaitu membaca Alkitab dan menyanyikan pujian dalam kidung, maka “Missi Zending” pada tahun : 1926 mendirikan: SR Zending yang terletak di sebelah timur makam Mbah Loda, berjarak kurang lebih 250 meter.
Sekolah tersebut terdiri dari 3 lokal dan ditempati untuk 5 (lima) kelas. Adapun guru-gurunya diangkat dan digaji oleh zending pula.
Kebanyakan guru-guru ini didatangkan dari jemaat lain, diantaranya :
NO. | NAMA | ASAL |
1. | Bapak Purno Sastro Menggolo | Maron |
2. | Bapak Wardjo Haribawono | Maron |
3. | Bapak Supradono Andreas | Sidorejo |
4. | Bapak Ngiryanyoto | Wiyung |
5. | Ibu Sutiwi | Segaran |
6. | Bapak Munaris | Bulusari |
7. | Ibu Artiningsih | Maja Dukuh – Mojowarno |
8. | Ibu Astiningayu | Swaru |
9. | Bapak Ruslan Sastro Sanjoto | Sambirejo |
Dengan adanya SR Zending ini, Jemaat Maron mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tetapi setelah Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, Jemaat Maron menurun drastis. SR Zending dirusak, sedangkan guru-gurunya tidak digaji dan meninggalkan Maron, untuk pulang ke tempat asalnya masing-masing.
Pendeta atau pelayan jemaat, tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah.
* Tahun 1901 hari Kamis Wage, Gunung Kelud meletus dengan dahsyat. Lava panas bercampur belerang beserta jutaan meter³ air dalam kepundan, pasir, batu, dsb, mengalir dan membinasakan apapun juga yang dilewati, termasuk Desa Maron sebelah barat terkena lahar ini.
* Tahun 1919 hari Selasa Kliwon, Gunung Kelud meletus lagi dengan aliran lahar yang jauh lebih hebat. Separo dari Desa Maron, dari arah timur laut sampai barat daya desa, tergenang lumpur panas Gunung Kelud. Sehingga Desa Maron bagaikan desa yang mati, termasuk Gedung Gereja Maron tergenang lahar ini, meskipun tidak sampai roboh.
Adanya lahar Gunung Kelud ini berdampak 2 macam, yaitu :
l Dampak yang pertama
Pengungsian secara besar-besaran dari seluruh daerah yang biasanya terkena lahar, menuju ke daerah yang lebih aman. Bagi masyarakat Desa Maron, mereka mengungsi ke Gunung Tumpuk ( Purwokerto ).
Trauma akan bencana yang dialami, baik yang kehilangan rumah, ternak, harta benda, terlebih yang kehilangan anggota keluarga karena meninggal atau hilang, maka mereka ini tidak mau lagi kembali ke Maron, dan terus menetap di pengungsian Tumpuk – Purwokerto.
Inilah keberadaan kelompok orang Kristen di Tumpuk.
l Dampak yang kedua
Pada tahun 1931 gedung gereja Maron yang terletak di sebelah barat Beringin – Putih dibongkar dan dipindahkan ke tempat yang tidak terkena lahar, yaitu di tempat yang sekarang ini.
Biaya pembelian tanah dan pembangunannya menghabiskan 800 Golden. Biaya ini setara dengan harga 200 ekor anak sapi yang sudah tidak disusui oleh induknya. Gedung Gereja yang baru ini selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal :
05 Juni 1932.
Pada tahun 1940 dibangun “kantor gereja” dengan biaya sebesar 70 Golden. Dua tahun kemudian yaitu tahun 1942, kehidupan GKJW Jemaat Maron mengalami penurunan yang drastis, pada zaman penjajahan Jepang. Lalu mengalami pemulihan dan perkembangan lagi setelah lahir “Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Orang-orang yang pernah melayani di GKJW Jemaat Maron ialah :
NO. | NAMA PELAYAN | MASA JABATAN | KETERANGAN |
1. | Bapak Djemiyah | 1858 - ….. | |
2. | Bapak Markus | - | |
3. | Bapak Djadius | - | |
4. | Bapak Restian Gambar | 1917 - ….. | |
5. | Bapak Kasdo Tjokro Siswanto | - | |
6. | Pdt. Nekamio | 1931 - 1936 | |
7. | GI Suprobosetjo | 1936 - 1941 | |
8. | GI Nowoadi | 1941 - 1946 | |
9. | Pdt. Alex Andri Pranoto | 1946 - 1948 | |
10. | Pdt. Issakar | - | Konsulen |
11. | Pdt. Darmowasito | 1953 - 1956 | |
12. | Pdt. Suharto | 1956 - 1973 | |
13. | Pdt. Suwarno, Sm. Th. | 1973 - 1976 | |
14. | Pdt. S.K. Harianto, Sm. Th. | - | Konsulen |
15. | Pdt. Seger Suparmadi, Sm. Th. | 1977 - 1987 | |
16. | Pdt. Harirekso Haribawono | - | Konsulen |
17. | Pdt. Kuntadi | - | Konsulen |
18. | Pdt. Purwoto, Sm. Th. | 1990 - 1996 | |
19. | Pdt. Suprapto, Sm. Th. | 1996 - 2004 | |
20. | Pdt. Emanuel, Sm. Th. | - | Konsulen |
21. | Pdt. Dwi Hastuti S. Si | 2006 - sekarang |
Pada mulanya GKJW jemaat Maron masuk wilayah Majelis Daerah (MD) Kediri – Madiun.
Pada tahun 1970, MD Kediri – Madiun dibagi 2 yaitu :
- MD Kediri
- MD Madiun
Jemaat Maron Masuk MD Kediri
Pada tanggal 22 s/d 24 Oktober 1993 dalam sidang MD Ke 46 di GKJW Jemaat Trenggalek, MD Kediri dibagi menjadi 2 yaitu :
- MD Kediri Utara
- MD Kediri Selatan
GKJW Jemaat Maron masuk wilayah MD Kediri Selatan, sampai sekarang ini.
Jadi perkembangan GKJW Jemaat Maron, dari 3 KK atau : 14 orang pada tahun 1858, telah berkembang menjadi : 290 KK atau 798 Jiwa
Jumlah sekian ini tidak termasuk dua pepanthan yang telah didewasakan, yaitu : Blitar dan Ngunut, beserta pepanthannya :
- Pepanthan Sumberagung
- Pepanthan Remang
- Pepanthan Rejotangan
BAB IV
PEPANTHAN-PEPANTHAN GKJW JEMAAT MARON
Yang pernah menjadi pepanthan dari GKJW Jemaat Maron adalah sebagai berikut :
- Pepanthan Blitar
- Pepanthan Sumberagung
- Pepanthan Remang
- Pepanthan Rejotangan
- Pepanthan Ngunut
Adapun yang tetap menjadi pepanthan dari GKJW Jemaat Maron sampai sekarang, ialah :
- Pepanthan Tumpuk (Purwokerto)
- Pepanthan Ngaglik
- Pepanthan Srengat
- Kelompok Selokajang
- Pepanthan Blitar
Pada tahun 1900, Injil masuk ke Blitar melalui hamba Tuhan dari GKJW Jemaat Maron yang bernama Djadius. ± Tahun 1930-an, beberapa umat Kristen di Blitar dapat menghimpun beberapa umat Kristen pendatang yang berada di Kota Blitar.
Beliau ini diantaranya :
o Bapak Miyarso - Kertorejo
o Bapak Djoyo Sukarto - Mojowarno
o Bapak Mangkuhardjo - Suwaru
o Bapak Purnoto - Wonorejo
o Bapak Munodjo
Kemudian datang pula :
l Bapak Sengkolo
l Bapak Sukohardjo.
Selanjutnya di Blitar diresmikan menjadi Gereja Pepanthan dari Jemaat Maron oleh Pendeta Nekamio, selaku Pendeta GKJW Jemaat Maron.
Bersama dengan berdirinya Pepanthan Blitar, Pemerintah Belanda menghimpun orang-orang Kristen di Onderneming (Perkebunan Kopi), ke dalam suatu jemaat, yang dikenal dengan nama Indische – Kerk. Bahkan dibangunkan sebuah gedung gereja, yang terletak di Jalan Sudirman No. 2 Blitar.
Peletakan batu pertama tanggal 9 Maret 1934. Pepanthan Blitar didewasakan pada tanggal :
27 Agustus 1935
dengan nama : GKJW Jemaat Blitar. Pendeta pertama yang menunggui/melayani GKJW Jemaat Blitar ialah :
Pendeta Susalam Wiryotanoyo
2. Pepanthan Sumberagung dan Remang
Pak Mudjais CS
Desa Remang dan Sumberagung, adalah dua desa yang berdekatan, masuk Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. Di Desa Remang dan Sumberagung ini, hidup tiga orang tokoh terkenal yaitu :
1. Bapak Mudjais
2. Bapak Kartokarip (Kartowidjojo)
3. Bapak Abdul Radjak
Ketiga orang tersebut bersatu, karena merasa senasib sepenanggungan, sama-sama menjadi tokoh Organisasi Pergerakan Nasional di Indonesia, yaitu : Serikat Islam.
Tahun 1917 SI pecah menjadi 2 yaitu :
a. SI Putih
b. SI Merah yang cenderung ke komunis (SR)
Bapak Mudjais cs masuk ke aliran SI Merah yang anti pada penjajahan, maka tokoh-tokoh SI merah banyak yang ditangkap dan diasingkan ke : Boven Digul, Irian Jaya.
Takut kalau ditangkap Belanda, maka Bapak Mudjais cs berusaha untuk mencari kekebalan tubuhnya sehingga mereka menjadi “dukun”.
Suatu ketika, anak Bapak Kartowidjojo yang masih kecil menderita sakit, bibir sebelah atas sumbing.
Setelah mendapat berita bahwa : RS Mojowarno dapat mengobati penyakit tersebut, maka pergilah Bapak Kartowidjojo kesana, untuk pengobatan anaknya.
Selama menunggu anaknya di RS, dia sangat tertarik akan kehidupan para Dokter, suster, perawat, dll, yang kelihatan baik waktu merawat semua pasien.
Setiap sore mengadakan kebaktian, berdoa dan bernyanyi, memuliakan nama Tuhan. . Setelah diketahui pimpinan agama baru tersebut seorang pendeta, maka pergilah Bapak Kartowidjojo ke rumah pendeta itu, mempelajari agama tersebut.
Meskipun dia tahu, bahwa pendeta itu seorang Belanda, yang sela ini sangat ditakuti, tetapi pak Kartowidjojo tidak mengurungkan niatnya.
Setiap sore selama menunggu anaknya di RS Mojowarno, dia diberi pelajaran agama kristen oleh pendeta tersebut.
Setelah anaknya sembuh, untuk melanjutkan pelajaran agama tersebut, Bapak Kartowidjojo disarankan agar menghadap kepada pendeta Belanda di Kediri yang bernama :
Van Engeln
Sampai di Sumberagung, Bapak Kartiwidjojo mengajak Bapak Mudjais dan Bapak Abdul Radjak pergi ke Kediri. Oleh Van Engeln mereka diterima dengan baik, bahkan Van Engeln sanggup datang di Sumberagung, untuk mengajar mereka tentang agama Kristen.
± Dua bulan, Van Engeln menetap di Sumberagung. Kemudian tugas selanjutnya diserahkan kepada pendeta dari Jemaat Maron, Srengat yang bernama Bapak Nekamio. Setelah katekisasi dirasa cukup, maka dilayani Baptisan I di Sumberagung pada tanggal :
18 Juli 1926
Baptisan ini diikuti oleh dewasa dan anak-anak berjumlah ± 60 orang.
Jumlah ini semakin banyak karena :
1. Banyak yang tidak mengetahui, kalau ketiga dukun itu (Bapak Mudjais cs) telah masuk Kristen.
2. Karena umum belum mengetahui bahwa Bapak Mudjais cs telah masuk Kristen,
maka suatu kesempatan baginya untuk mengabarkan Injil, kepada orang-orang
yang berguru kepadanya.
Pada waktu Bapak Nowoadi menggantikan sebagai pendeta di Jemaat Maron, maka Bapak Mudjais dan Bapak Kartowidjoyo diangkat menjadi Majelis Jemaat di Sumberagung.
Bahkan di Sumberagung telah didirikan Gereja. Maka secara resmi Remang dan Sumberagung menjadi pepanthan dari Jemaat Maron. Bapak Mudjais meninggal pada tanggal 27 April 1944.
Untuk mempermudah mempelajari agama Kristen, “missi Zending” mendirikan SR Zending di Sumberagung, yang terletak di sebelah selatan, , berjarak ± 200 meter saja. Guru-guru SR Zending ini diangkat dan digaji oleh zending pula. Kebanyakan guru-guru ini juga diangkat dan didatangkan dari jemaat lain.
Guru-guru tersebut antara lain :
ü Bapak Purno Sastro Menggolo
ü Bapak Darmo
ü Bapak Tyas Wiyodo
ü Bapak Winoto
ü Bapak Sunowohadi, dsb.
3. Pepanthan Ngunut
Bapak Badiardjo
Di desa Sumberjo Kulon, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, hidup seorang tokoh SR (Sarikat Rakyat) yang bernama Bapak Badiardjo.
Dia bekerja sebagai “tukang penjahit”, tetapi sebagai pekerjaan sambilan Bapak Badiarjo senang mencari ikan dengan cara menjala, oleh karena itu dia disebut pula : “tukang njala”.
Seperti di daerah-daerah lain, anggota SR ini dikejar-kejar oleh Belanda termasuk Bapak Badiardjo. Maka mencari kesaktian untuk kekebalan tubuhnya dengan cara berdukun.
Dia pun pergi ke Remang, untuk berguru kepada bapak Mudjais.
Oleh Bapak Mudjais diberi tahu, bahwa dia Mudjais sudah tidak menjadi dukun lag,i karena telah masuk agama Kristen. Dia tidak takut lagi kepada Belanda, karena pendeta Kristen pada waktu itu seorang Belanda yang melindungi kepadanya.
Bapak Badiardjo ingin masuk agama Kristen. Oleh Bapak Mudjais dibacakan pertama kali, yang diambil dari Injil Yahya 8 : 12 dalam Bahasa Jawa : Yesus ngandika maneh marang wong akeh dawuhe “Aku iki pepadhange jagad, wong kang ngetut buri Aku bakal ora lumaku ana ing pepeteng, nanging nduweni padhang ing urip.”
Bapak Badiardjo tertegun diam, karena belum mengerti arti bacaan itu. Kemudian Bapak Mudjais menjelaskan bahwa “Yesus” yang disebut dalam bacaan tadi ialah : “Anak Allah” yang menjelma sebagai manusia, untuk menebus dosa manusia.
Yesus membawa manusia dari kuasa gelap ke pada terang-Nya yang sempurna. Bagi yang mengikut Dia, tidak akan berjalan di dalam gelap. Mereka yang kuatir dan takut akan dihiburkan. Selanjutnya diterangkan mengenai Allah yang Tri Tunggal itu.
Selama dua hari, Bapak Badiardjo di Remang. Sepulang dari Remang dijumpainya tokoh-tokoh seperjuangannya antara lain :
ü Kusniyo Somowiryo - Sumberjo Kulon
ü Iran Karsosiran - Ngunut
ü Musodo - Ngunut
ü Sukarni - Ngunut
ü Tarmidjo Partodihardjo - Ngunut
Setelah diceritakan semua pengalaman hidupnya, Bapak Badiardjo mengajak semua kawan seperjuangannya untuk masuk agama Kristen.
Setiap hari Sabtu dan Minggu sehabis kebaktian dilanjutkan belajar agama Kristen di Sumberagung. Pelayanan katekisasi dilaksanakan oleh Guru Sekolah yang merangkap Guru Injil dari Jemaat Maron yang bernama :
Purno Sastro Menggolo.
Setelah berjalan beberapa bulan, Pendeta Nekamio sebagaia Pendeta Jemaat Maron yang merangkap melayani Sumberagung – Remang, berpendapat bahwa kalau katekisasi lebih baik dilaksanakan di Ngunut.
Dengan demikian istri dan anak-anaknya juga dapat menerima katekisasi. Kebaktian Minggu tetap dilaksanakan digereja Sumberagung. Katekisasi dilayani oleh Bapak Nekamio sendiri.
Setelah katekisasi berjalan ± 2 tahun, akhirnya diadakanlah Baptisan I pada tanggal 31 Maret 1929.
Baptisan ini dilaksanakan di Ngunut, setelah dibangunnya tempat ibadah atau gereja di sini. Babtisan itu diikuti oleh : 33 orang.
Setekah dibabtis Bapak Badiardjo bernama
Ibrahim Badiardjo.
Dia dianggap sebagai : “pelopor” agama Kristen di Ngunut. Beliau meninggal dunia tanggal 28 Januari 1944 dalam usia 58 tahun.
Pepanthan Yang masih tetap menjadi milik Pasamuwan Maron adalah :
1) Pepanthan Tumpuk (Purwokerto)
2) Pepanthan Biluk (Ngaglik)
3) Pepanthan Srengat
4) Kelompok Selokajang
Keterangan :
A). Pepanthan Tumpuk ( Purwokerto)
Tahun 1919 hari Selasa Kliwon, Gunung Kelud meletus dengan aliran lahar yang paling dahsyat. Separo Desa Maron bagian barat tergenang lahar panas ini.
Bagi penduduk Desa Maron mengungsi ke Gunung Tumpuk di desa Purwokerto di tenda penampungan di lereng sebelah utara dan barat.
Mereka yang trauma, karena kehilangan rumah, harta benda, ternak dan sebagainya, terlebih yang kehilangan keluarga, karena meninggal atau hilang, maka mereka ini tidak mau kembali ke Maron .
Inilah awal mulanya ada orang-orang Kristen di Tumpuk, bahkan mantan pelayan dari Pasamuwan Maron yang bernama Bapak Restian Gambar, juga menetap disini. Semula warga jemaat yang ada di Tumpuk hanya merupakan kelompok, dan kebaktian Minggu dilakukan di Gereja Maron.
Baru setelah ada seorang warga yang bernama Suwarno Martosudarmo mempersembahkan sebidang tanah seluas = 36 Ru (504 m²) dan diatas tanah tersebut dibangun sebuag gedung gereja.
Gedung gereja itu berukuran :
Panjang : 12 m
Lebar : 6 m
Disampingnya dibangun pula perumahan pendeta.
Peletakan batu pertamanya tanggal 18 Nopember 1986. Diresmikan tanggal :
09 Desember 1987
Oleh Pendeta Seger Suparmadi Sm. Th.
Semenjak itulah Tumpuk menjadi pepanthan dari Pasamuan Maron, dan kebaktian dilaksanakan di gereja yang baru ini.
Pelayan kebaktian dilakukan secara bergilir dari Majelis Pasamuwan Maron dan Majelis Jemaat yang ada di pepanthan Tumpuk.
Warga Tumpuk berjumlah = 34 KK
atau = 103 Jiwa
B). Pepanthan Biluk, Ngaglik
Tahun 1965, tanggal 30 September, terjadi peristiwa yang dikenal dengan sebutan : peristiwa G.30S. PKI. Kemudian pemerintah mengeluarkan ketetapan yang isinya :
1. Semua warga Negara Indonesia harus memeluk agama,
2. Melarang aliran kebatinan berkembang di Indonesia.
Dengan adanya ketetapan / peraturan tersebut, masyarakat di Biluk lalu meninggalkan aliran kebatinan yang dianutnya, kebanyakan lalu masuk agama Kristen. Hal ini terjadi tahun 1969, jaman bapak Pendeta Suharto sebagai pelayan di Jemaat Maron.
Jumlah mereka ± 70 orang. Setiap Minggu mereka melakukan kebaktian di Gereja Maron.
Setelah mendapat pembelian sebidang tanah dari keluarga bapak Karto Redjo Trimin seluas 20 Ru (280 m²) maka didirikannyalah Gedung Gereja di atas tanah tersebut (di Ngaglik) dengan ukuran :
Panjang = 15 M
Lebar = 5 M
Peletakan batu pertamanya dilaksanakan tahun 1976, Pendeta Harirekso Haribawono, selaku Pendeta konsulen di Jemaat Maron, Pendeta baku dari Jemaat Blitar.
Gereja ini selesai dibangun, dan diresmikan tahun 1978 oleh Pendeta Kuntadi, selaku Pendeta konsulen dari Jemaat Maron, atau pendeta baku dari Jemaat Kunjang.
Semenjak itulan maka Ngaglik secara resmi menjadi Pepanthan GKJW Jemaat Maron, dan kebaktian Minggu dilaksanakan di Gereja Ngaglik. Pelayan kebaktian dilakukan bergantian antara Majelis dari Maron dan Ngaglik sendiri,
Jumlah warga Pepanthan Ngaglik = 20 KK
atau = 50 Jiwa,
C). Pepanthan Srengat
Tahun 1961 ada peraturan Pemerintah yang isinya menghapus semua SGB diseluruh Indunesia, dan dijadikan SMP.
Didaerah kecamatan yang belum ada SMP Negeri, maka didaerah itu supaya menyediakan gedung sekolah. Maka Kecamatan Srengat, siap menyediakan gedungnya, dan siap menerima siswa baru.
Adapun seluruh guru dan pegawai sekolah, termasuk tenaga administrasi didatangkan dari SGB 04, Blitar. Kebetulan Kepala sekolahnya seorang kristen, bernama :
T.B. Tjiptaarsaya
Disamping menjadi kepala sekolah, belia seorang tokoh, sebagai : “Ketua Pengurus Yayasan BPK Jawa Timur” yang berkedudukan disurabaya.
Maka guru-guru di SMP Negeri Srengat yang beragama Kristen, oleh bapak T.B. Tjiptaarsaya disarankan untuk masuk ke GKJW Jemaat Maron.
Setelah datang lagi pegawai negeri ke Srengat, maka dihimpunlah warga marenca di Srengat, untuk mengadakan kebaktian dirumah warga yaitu : Bp. Soedirman.
Semenjak itulah kebaktian setiap Minggu dilaksanakan disini. Bila kebaktian keluarga (Kamis) sore secara bergantian dirumah warga.
Pelayan kebaktian Minggu dilakukan secara bergantian, antara Majelis dari Maron dan majelis jemaat dari Pepanthan Srengat sendiri. Hai ini berjalan sampai saat ini.
Warga Pepanthan Srengat berjumlah = 32 KK
= 84 Jiwa
D) Kelompok Selokajang
Bapak Somowisastro
Desa Selokajang, berdampingan dengan desa Maron. Bapak Somowisastro adalah mantan Carik (sekretaris desa) Selokajang Kec. Sreangat.
Pada tahun 1968, Bapak Somowisastro bersama istrinya ibu Katiyem – Somowisastro masuk Kristen dan menjadi warga dari GKJW Jemaat Maron.
Panggilan Tuhan Yesus Kristus terhadap keluarga Bp. Somowisastro ini terus berkembang, sehingga akhirnya seluruh anak, menantu dab cucunya masuk Kristen.
Setelah dirasa tua, Bp. Somowisastro mempersembahkan sebidang tanah seluas = 13 Ru (182 m²) .
Diatas tanah tersebut dibangun sebuag gedung gereja dengan ukuran :
Panjang = 13 M
Lebar = 4,5 M
Setah selesai dibangun, maka gedung gereja ini diresmikan pada :
Tanggal =
Oleh Pendeta
Ditempat inilah kelompok Selokajang kebaktian Minggu, beserta warga Kristen disekitarnya.
Pelayanan Minggu dilakukan secara bergantian, antara Majelis dari Maron dan majelis jemaat yang berdomisili di Selokajang.
Warga kelompok Selokajang berjumlah = 15 KK = 36 Jiwa
BAB V
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI DESA MARON
Desa Maron didirikan dari pembukaan hutan oleh orang-orang Kristen yang diasingkan Belanda dari Desa Togogan, Kec. Srengat.
Tahun 1860 baru diatur pemerintahannya. Pada waktu itu, Maron masih merupakan “Dukuhan” dengan Kepala Dukuh bernama Lewi (anak kyai Trogati Sidokare),dan masuk Desa Kauman, Kec. Jatilengger. Sedangkan Dukuh Langkapan hasil pembabatan hutan oleh Mbah Bau, masuk Desa Wonorejo.
Tahun 1865, kedua pedukuhan ini dijadikan satu, yang disebut Desa Maron, Kec. Srengat Kab, Blitar Yang diangkat menjadi Kepala Desa ialah Lewi, beragama Kristen.
Kepala-kepala Desa berikutnya kebanyakan juga memeluk agama Kristen.
Untuk mendapatkan keadaan yang aman, tenteram, dan rakyatnya hidup rukun berdampingan secara damai, meskipun di Desa Maron terdapat dua agama yang besar yaitu Islam dan Kristen, maka Kepala Desa menerapkan dua dasar dalam pemerintahannya :
A. Hukum Kasih
1. Hukum kasih yang pertama : “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.”
Ini berarti bahwa Kepala Desa pada waktu itu menghendaki agar setiap warga di Desa Maron memeluk agama, sesuai dengan pilihan hati nuraninya yang paling dalam.
2. Hukum kasih yang kedua : “kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri.” Ini berarti semua warga Desa Maron, menghindarkan diri dari pertengkaran dan permusuhan, hingga terjalin kerukunan antara Pemerintah Desa - Agama Islam – Agama Kristen.
B. Dasar Kedua
Dasar kedua yang melandasi Kerukunan Umat Beragama di Maron ialah dasar- keturunan.
Kyai Karyadi (Islam) mempunyai 2 orang isteri. Anak dari Kyai Karyadi dengan istri I menikah dengan anak Kyai Trogati yang bernama Anes (Yohanes) beragama Kristen.
Dari pernikahan in,i menurunkan orang-orang Kristen, diantaranya ialah Stepanus Martosudarmo, dengan 11 orang anaknya, semuanya masuk agama Kristen.Mereka menempati desa maron disebelah barat.
Sedangkan Kyai Karyadi dengan istri II (kedua) menurunkan orang - orang Islam, diantaranya Achmat Karyo dengan 9 orang anaknya, kebanyakan mereka menempati di Dukuh Langkapan serta Desa Maron yang sebelah Timur.
Dengan dasar hukum kasih dan keturunan inilah Kepala desa Maron mempersatukan rakyat didaerahnya. Oleh karena itu siapapun orangnya dan agama apapun yang dipeluk oelh kepala desa Maron, akan tetap terjalin kerukunan umat beragama ini, asal mau meneladani kepala-kepala desa yang terdahulu.
Orang yang pernah menjadi Kepala Desa Maron adalah :
NO. | NAMA | AGAMA | KETERANGAN |
1. | LEWI | KRISTEN | 1865 – 1871 |
2. | KROMOASTRO | KRISTEN | 1872 – 1874 |
3. | DONOREDJO | KRISTEN | 1875 – 1878 |
4. | ROBIN | KRISTEN | 1879 – 1882 |
5. | TAREDJO | ISLAM | 1883 – 1883 |
6. | DJORAM | KRISTEN | 1884 – 1884 |
7. | YOESAK | KRISTEN | 1885 – 1885 |
8. | STEPANUS MARTOSUDARMO | KRISTEN | 1885 – 1929 |
9. | KARTODIMEDJO | ISLAM | 1929 – 1950 |
10. | ERLAUS | KRISTEN | 1950 – 1977 |
11. | KARNAWIYATA | KRISTEN | 1978 – 1989 |
12. | ALI MURTADHA | ISLAM | 1990 – 2006 |
13. | TRI SUPATMI ANDAYANINGSIH | ISLAM | 2008 - SEKARANG |
BAB VI
LAMBANG DESA MARON
Pada tahun 1977 ada Peraturan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Blitar, yang isinya setiap desa supaya menciptakan Lambang Desa yang menunjukkan identitas dari masing-masing desa di seluruh Kabupaten Blitar.
Untuk Desa Maron diciptakan oleh Bp; Erlaus sebagai kepala desa waktu itu.
Lambang desa Maron sebagai berikut :
1. Panji-panji berbentuk trapezium dengan warna dasar hijau.
2. Di tengah trapezium tersebut ada segilima beraturan dengan warna dasar kuning
emas.
3. Dalam segilima beraturan tersebut terdapat gambar :
■ Beringin putih
■ Dibawahnya terdapat gambar belanga/Maron
■ Pita yang bertuliskan “Maron”
■ Sebelah kiri beringin bergambar “Masjid”
■ Sebelah kanan beringin bergambar “Gereja”
Keterangan Lambang Desa :
1. Pohon Beringin merupakan lambang persatuan dan kesatuan dan melambangkan ketika peristiwa babat hutan, pohon beringin ini merupakan tempat bernaung 14 orang yang membabat pertama kali.
2. Kemaron merupakan lambang asal mulanya menjadi nama “Desa Maron” karena dibawah
pohon beringin terdapat pecahan maron.
3. Masjid dan Gereja melambangkan penduduk Desa Maron yang terdiri dari 2 agama yang
kuat yaitu Islam dan Kristen.
4. Warna kuning melambangkan kejayaan dalam segi pendidikan di semua bidang yang berdasarkan Pancasila. Selain itu juga melambangkan, meski desa Maron dilanda lahar tetapi penduduk desa Maron tetap dapat meneruskan pekerjaan masing-masing kepada pengorbanan jiwa manusia,
5. Warna Hijau yang melambangkan kesuburan di segala bidang yaitu pertanian dan kemampuan generasi muda mencari pekerjaan demi mengabdi kepada Negara Indonesia.
Demikianlah ulasan dari Lambang Desa Maron.
Lambang ini diciptakan oleh Bapak Erlaus.
Disahkan oleh Camat Srengat Bapak Atmowihardjo.
Pemerintah Bupati di Srengat : Moedjio.
PENUTUP
Mazmur 77 : 12-13
12.. Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatanMu Tuhan, ya aku hendak mengingat keajaibanMu dari zaman purbakala.
13. Aku hendak menyebut-nyebut segala perkerjaanMu, dan merenungkan perbuatan-perbuatanMu.
Sungguh hanya karena kebaikan dan kasihNya GKJW Jemaat Maron dapat ada dan tumbuh untuk menjadi bagian dalam karya penyelamatanNya. Dalam perjalannya sebagai pengikut Kristus jemaat ini telah melalui rentang sejarah yang panjang Ada banyak pengalaman yang telah dirasakan dan dialami. Suka, duka, kebahagiaan dan keterpurukan telah menjadi bagian yang menyatu dalam sejarah perjalanan jemaatNya. Semua datang silih berganti seiring berjalannya waktu untuk menempa dan membentuk jemaatNya manjadi milikNya yang layak. Sebagaimana penghayatan Sang Pemazmur, jemaat inipun menghayati bahwa jemaat ini ada dan dapat bertahan bukan karena kekuatannya tetapi semua karena penyertaan dan karyaNya semata.
Untaian sejarah yang telah terukir merupakan sebuah pembelajaran bagi setiap orang yang ada di dalamnya supaya dapat menjadi lebih baik dan lebih dewasa lagi. Sehingga mampu menjadikan pengalaman masa lalu sebagai bekal untuk menata langkah di masa kini agar mampu menatap masa depan dengan lebih tegar dan mantap.
Masih banyak tugas dan tanggung jawab besar yang harus diselesaikan oleh gerejaNya. Tantangan yang menghadangpun tidak semakin ringan. Gereja harus mampu menjadi berkat dan mewujudkan kehendakNya sehingga kasih dan berkatNya dapat dirasakan oleh setiap orang yang ada di sekitarnya. .Berbekal segala pengalaman dan pembelajaran yang diberikanNya gereja harus semakin mantap dan dewasa dalam melangkah menyongsong masa depan dan berkat yang disediakanNya. Satu penghiburan bagi setiap umatNya, jika Allah berkenan menyertai gerejaNya dimasa lalu maka Allahpun pasti akan menyertai gerejaNya dimasa kini dan masa yang akan datang.
Rangkaian perjalanan GKJW Jemaat Maron sebagai jemaatNya telah dibukukan. Bukan hal mudah untuk mengumpulkan data-data yang terserak. Membutuhkan waktu yang lama untuk melakukannya namun berkat penyertaanNya dan kegigihan tim sejarah akhiirnya buku ini dapat tersusun. Semua dilakukan untuk mencari benang mereah dari masa ke masa perjalanan gerejaNya. Semua berguna untuk pembelajaran. Tim menyadari bahwa ada banyak hal yang masih harus diperbaiki dan disempurnakan. Dan ini akan terus dilakukan seiring dengan berjalannya waktu.
Diakhir kata dengan penuh syukur kami mengucapkan selamat Ulang Tahun GKJW Jemaat Maron. Selamat menjadi dewasa dalam iman dan perbuatan serta menjadi berkat bagi sesama..
Tuhan memberkati
Tim sejarah
LITERATUR / NARA SUMBER
1. Skripsi Pdt. Harifin Widayat, Sm.Th.
2. Skripsi Pdt. Purwoto, Sm.Th.
3. Sejarah Singkat HUT Jemaat Blitar
4. Buku Babad Desa Maron
5. Sejarah Desa Maron
6. Buku Junjang Kerawat Desa Maron
7. Legenda Kadurakan ing Aryoblitar
8. Sejarah Pergerakan Nasional
9. Penelitian / Wawancara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar